Galau Berujung Pindah Agama

Saturday 14 December 2019 : 20:23
Baca Lainnya

Kabar62.com - Latar belakang pendidikan pesantren, ternyata tak sanggup juga membendung kegalauan jika lagi datang menghadang. Begitu juga dengan pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) juga tak sanggup mematangkan konsep ketuhanan dalam Islam.

Setidaknya dilema itulah yang dialami Rahmatin Fajri, 18, jebolan Pondok Pesantren Assa’diyah Batu Nan Limo, Lubuk Batingkok Simalanggang Payakumbuh. Kegalauannya berakhir di gereja Katholik Payakumbuh, karena tak sanggup lagi menahan beban hidup.

Status Ketua OSIS di MAN I Payakumbuh, turut menambah kegalauan hatinya. Apalagi dengan kondisi psikologi yang berasal dari keluarga broken home, membuat Rahmatin makin menyangsikan keadilan tuhan padanya.

Masa kecilnya sendiri penuh luka. Sewaktu balita, ia sudah ditinggal pergi sang ayah. Ibunya kemudian menikah lagi, dan tidak lama ayah tirinya itu terjerat kasus PNPM dan berakhir di jeruji besi.

Tinggalah sang ibu yang harus membesarkan Rahmatin dengan tiga saudaranya yang lain. Kini ibunya bekerja di usaha tembok, untuk penghidupan sehari-hari.

Ia sendiri memilih melanjutkan pendidikan di MAN 1 Payakumbuh selepas tamat pesantren dengan tinggal indekos. Ia pun kerap membantu temannya yang jadi garin di Mushalla, Baitul Ummah.

Begitu banyaknya problem yang berkecamuk di kepala, membuat ia tidak mampu mengendalikan diri. Puncak dari semua itu, kakinya melangkah tanpa panduan iman yang telah ia warisi sejak kecil, diperkuat dipesantren dan dipermak pula di MAN I Payakumbuh. Kakinya berakhir di gereja Katholik Payakumbuh di samping Rumah Sakit Ibnu Sina.

Ia diterima dengan baik oleh para suster dan mulailah Rahmat curhat. Rahmat kemudian disuruh sujud pada patung Yesus dan disuguhi roti Paskah dan diminumkan air.

Sepulang dari gereja dan kembali ke mushalla, Rahmat merasa ada perubahan dalam dirinya. Esoknya ia kembali ke sekolah dengan luka gores bergambar salib di beberapa bagian tubuh. Rahmat benar-benar merasa dirinya sudah jadi seorang Katholik.

Perubahan dalam diri Rahmat, baru memancing keingintahuan majelis guru. Selama ini, Rahmat mengaku tidak ada yang memperhatikan dan tidak bisa curhat di sekolah karena ketidakadaan guru BP (Bimbingan Psikologi).

Dua temannya kemudian diutus untuk membawa Rahmat ke jalan Islam, dengan petunjuk dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Juanda Putra dan Jeffry Yolanda kemudian diminta mendampingi Rahmat ke tempat makan-makan untuk perbaikan gizi.

Ketiganya kemudian sampai di rumah Ketua Paga Nagari Sumbar yang juga Pimpinan Rumah Mualaf Indonesia, Ibnu Aqil De Ghani. Konsep ketuhanan dalam diri Rahmat kembali dibersihkan, agar jalannya kembali terbuka.

Rahmat yang seperti orang bingung, dibimbing perlahan agar kembali melihat cahaya Islam. Alhamdulillah ia kembali bersyahadat, setelah beberapa hari berada di jalan lain.

Kasus Rahmat bagai fenomena gunung es yang melingkari rasa kepedulian sesama umat Islam. Rahmat yang termasuk sepuluh besar di sekolah, berstatus Ketua OSIS, rasanya layak mendapatkan beasiswa.

Sayangnya, Badan Amil Zakat (BAZ) Kota Payakumbuh barangkali tidak terlalu berkontribusi menyelamatkan pendidikan orang miskin, sebagaimana dilakukan BAZ Nasional Kota Padang. Baznas Kota Padang sangat peduli pendidikan orang miskin dengan program Padang Cerdasnya.

Masih banyak Rahmat-Rahmat lainnya yang tentu dalam keterancaman serupa. Soalnya tak semua anak muda mampu menahan cobaan hidup dengan mencari jalan keluar terbaik, dan sampai titik darah penghabisan mempertahankan Islam dalam dada.

Rahmat setidaknya tamparan bagi Walikota Payakumbuh, Kepala Sekolah MAN I Payakumbuh, Pondok Pesantren Assa’diyah Batu Nan Limo, Lubuk Batingkok Simalanggang Payakumbuh, orang kaya Payakumbuh, dan umat Islam umumnya.

Kemiskinan bagi sebagian orang memang mampu mengantarkannya ke arah kemurtadan. Miskin materi yang diiringi miskin iman, makin memperlapang jalan menuju keluar Islam.

Tentu lain jadinya kalau hanya miskin materi namun kaya iman seperti sahabat Rasulullah SAW yang banyak miskin. Sedikitpun mereka tak tergoda materi, untuk berpindah keyakinan. Biar nyawa lepas, tapi iman berpantang lepas dari raga.

Bagi Pondok Pesantren Assa’diyah Batu Nan Limo, Lubuk Batingkok Simalanggang Payakumbuh, alumninya Rahmat bisa menjadi evaluasi ke depan. Pelajaran agama Islam yang mereka berikan, ternyata tidak terlalu mengakar bagi Rahmat. Ke depan, diharapkan tak ada lagi jebolan pesantren yang akhirnya tak paham konsep keimanan.

Sementara bagi MAN I Payakumbuh, kasus Rahmat hendaknya dijadikan alasan untuk mengadakan guru BP di sekolah. Kalau ada anak-anak yang galau, hendaknya segera dipanggil atau didatangi untuk konsultasi.

Jangan biarkan mereka sendiri, dalam menghadapi problematika hidup yang tak jarang membuat hati mereka berkata Allah tidak adil padanya. Perhatian dan nasehat, amat dibutuhkan remaja-remaja galau seperti Rahmat.

Untuk Baznas Payakumbuh, mungkin sudah saatnya memainkan peranan memberikan bantuan beasiswa. Zakat seyogianya milik fakir miskin dan kewajiban amillah untuk mencari mereka yang berhak menerima.

Jangan menunggu si miskin bermohon-mohon beasiswa ke kantor, karena sebagian mereka tidak tahu prosedur. Tugas amillah menemukan mereka, agar bisa dibantu.

Sementara bagi umat Islam, kasus Rahmat tentu tidak salah agama tetangga. Toh ia sendiri yang datang ke tempat itu, bukan malah mencari ustadz sebagai tempat mencurahkan isi hati.

Jadikan ini cermin, bahwasanya umat Islam masih harus berbenah agar rasa peduli pada sesama makin tumbuh. Apalagi di tempat-tempat yang banyak anak-anak kosan, kepedulian bagi yang tidak mampu, setidaknya perhatian berarti bagi mereka.

Islam sendiri sebenarnya telah memberi obat galau dengan Alquran. Allah bahkan berjanji, pada setiap pembaca Surah Al Waqiah sehabis Subuh dan Maghrib, bahwa hidupnya tidak akan melarat.

Sayang umat Islam banyak yang menyepelekan Surah Al Waqiah, makanya kemelaratan menjadi teman hidup. Sudah saatnya Surat Al Waqiah menjadi amalan sehari-hari.
Share :

Saat ini 0 komentar :