Membangkitkan Gairah Pariwisata di Daerah Bencana

Sunday 15 December 2019 : 11:09
Baca Lainnya

Kabar62.com - Raut kusut pertanda banyak pikiran, membayang jelas di raut wajah para anggota ASITA Sumatra Barat, saat melakukan pertemuan di Tea Box Jl. Hayam Wuruk Padang, Sabtu (10/4). Bagaimana tidak kusut, sejak gempa melanda Padang dan beberapa daerah lainnya di Sumbar, tingkat kunjungan wisatawan menjadi turun drastis.

Sedikitnya hotel berbintang yang beroperasi, membuat pariwisata makin terpuruk. Itu berarti ancaman besar bagi kelangsungan usaha anggota ASITA, jika tidak ada usaha mendongkrak pariwisata dalam waktu dekat.

Penurunan kunjungan wisatawan ke Ranah Minang menurut ketua ASITA Sumbar, Asnawi Bahar, mencapai 50 sampai 60 persen, terhitung sejak gempa melanda. Besarnya blow up berita gempa oleh media cetak dan elektronik, disinyalir ASITA menjadi penyebab kedernya nyali wisatawan menuju Sumbar.

Tidak hanya turis lokal yang mogok datang ke Sumbar, turis mancanegara terutama Eropa juga sama. Hal itu dikemukan Dasrul dari Kade Tour, yang biasanya melayani turis-turis Eropa ke Pulau Cubadak.

Pulau ini dalam keadaan normal, menjadi langganan turis Itali, Prancis dan negara Eropa lainnya. Banyak pejabat Eropa yang menikmati keindahan pulau ini, dalam satu kunjungan tidak resmi. Mereka memang di kala liburan, suka menghabiskan hari di Pulau Cubadak.

Wakil Ketua ASITA, Rafles, yang juga pemilik Tigo Balai Tour, juga mengungkapkan masalah yang sama. Paket wisata yang bisa dilakukan saat ini, lumayan terbatas. Jika sebelumnya ia memberikan empat hari kunjungan (tiga hari di Bukittingi dan satu hari di Padang), maka sekarang dijadikan tiga hari saja di Bukittinggi.

Langganan Rafles biasanya berasal dari turis negara Jiran seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Turis dari tiga negara ini, paling berminat dengan wisata sejarah dan kuliner.

Daerah kunjungan rutin mereka mencakup tanah kelahiran Buya Hamka, batu Malin Kundang dan lainnya. Sedangkan kuliner yang paling mereka nikmati, tersebar dari Padang, Padang Panjang hingga Bukittinggi.

Turis dari tiga negara ini, sangat terpengaruh dengan berita gempa yang melanda Sumbar. Apalagi visualisasi Hotel Ambacang yang runtuh, menimbulkan kekuatiran besar bagi para turis.

Berharap pada Pemerintah Provinsi (Pemprov) bergiat mempromosikan lagi pariwisata, tidak terlalu bisa diandalkan. ASITA hanya menyisakan harapan perbaikan pemberitaan, dari ajang Tour De Singkarak 2010 yang akan digelar dalam waktu dekat.

Lesunya pariwisata Sumbar di tengah alamnya yang indah dan mempesona, sebenarnya sudah sangat lama. Maklum saja, Pemprov maupun Pemda terkesan tidak serius mengelola aset wisata yang ada.

Aset pantai saja misalnya. Hingga saat ini baru ombak Pulau Mentawai saja yang berhasil dijual ke turis mancanegara yang hobi surfing. Hal itu didukung oleh keadaan masyarakat, yang lebih mentoleransi budaya masyarakat Barat dengan baju renang mininya.

Selama ini, kendala besar menjual keindahan pantai ataupun danau di Sumbar, ada pada nilai kesopanan yang dianut masyarakat. Sayangnya, Dinas Pariwisata memandang ini sebuah kendala, bukannya potensi yang membanggakan.

Setidaknya, kondisi budaya masyarakat seperti itu, dimanfaatkan untuk menarik turis dari negara-negara Timur Tengah atau negara berpenduduk Muslim lainnya. Jika mereka diberikan ruang khusus untuk menikmati mandi-mandi di laut, tentu akan menjadi tawaran menarik tersendiri.

Satu hal lagi. Tingkat keamanan di sepanjang bibir pantai Sumbar juga masih rawan. Hampir di setiap pantai yang menarik minat wisatawan lokal ataupun mancanegara, tidak disediakan penjaga pantai yang siap siaga.

Inilah penanda kalau pantai Sumbar tidak siap menerima wisatawan. Padahal negara-negara maju yang sudah bagus pengelolaan wisata pantainya, selalu menyiapsiagakan panjaga pantai dengan kapal dan petugas-petugas yang siap terjun menyelamatkan pengunjung yang terseret air.

Sementara wisata alam yang ada di Sumbar, hampir setali tiga uang. Semua dibiarkan begitu saja, tanpa ada sentuhan yang berarti. Padahal objek wisata tersebut baru bisa dikenal, jika banyak event yang digelar di lokasi tersebut.

Untuk kasus ini, ada wisata arung jeram, paralayang, dan masih banyak lagi. Selama ini, baru Paralayang yang dijadikan agenda rutin pariwisata. Sementara arung jeram, hampir tidak ada event yang digelar.

Semua memang terkendala pada masalah dana. Bicara dana, kembali lagi pada kemampuan Pemda melakukan lobi-lobi pada pihak sponsor. Selama ini, Pemda banyak mengambil sponsor dari produsen rokok yang tentu bertentangan dengan semangat pariwisata bersih dan sehat.

Kawasan hutan lindung Sumbar, juga tidak dianggap sebagai aset wisata. Padahal dengan membangun kereta lori, maka keindahan alamnya bisa dinikmati wisatawan. Lagi-lagi kemampuan menjual Pemprov layak dipertanyakan.

Terkait masalah ketakutan berada di daerah gempa, hal inilah yang harus dipikirkan solusinya oleh Pemprov dan Pemda. Mereka harus menjadikan tantangan ini menjadi peluang.

Kemampuan meyakinkan wisatawan terhadap keamanan Sumbar, harus dijadikan bagian dari promosi wisata. Bentuk geografis Sumbar, harus dibentangkan sebagai jaminan keamanan.

Minimal keberadaan shelter tsunami sangat diperlukan. Jika sudah berdiri, maka ia harus menjadi bagian dari petunjuk wisata, dari segi keamanan. Dengan demikian, pengunjung merasakan keamanan jika berkunjung di daerah Sumbar.

Bicara tsunami, hampir tidak ada ahli yang bisa meramalkan kapan datangnya. Mereka baru bisa bicara tsunami, jika sudah ada peristiwa yang berlaku. Mereka hanya sanggup menghitung tingginya goncangan gempa, setelah gempa usai.

Dari segi geografis, daerah Sumbar sulit untuk dilanda tsunami. Soalnya topografi Sumbar banyak dilalui oleh sungai-sungai kecil yang rata-rata bermuara ke laut.

Jika pun tsunami datang, maka air akan terserap banyak ke dalam hulu sungai. Prinsipnya sama dengan parit cabai. Air akan memenuhi parit yang kosong, baru melebar ke dataran.

Sementara Padang saja, memiliki beberapa hulu sungai yang bermuara ke laut. Sebutlah Muara Padang, Banda Bakali Purus, Batang Kuranji Bung Hatta, Muaro Penjalinan dan lainnya.

Hulu-hulu sungai ini sempat naik debit airnya, kala gempa tahun 2007. Warga sekitar menyangka akan ada tsunami. Namun beberapa saat kemudian, ombak tidak menunjukkan reaksi berarti.

Hal inilah yang membuat heran banyak pengamat, termasuk dengan gempa 7,9 SR yang melanda Sumbar 30 September 2009 lalu. Prediksi awal akan terjadi tsunami. Namun alhamdulillah, alam menjawab hal itu dengan meredam gejala tersebut.

Keadaan inilah yang harus dijual pemprov Sumbar, agar kenyamanan kembali tercipta pada diri wisatawan. Sementara pendekatan agama juga tidak kalah penting, karena bencana hanya terjadi atas izin Allah SWT. Soal ajal dan dengan cara apa manusia mati, hanya Allah juga yang mengetahuinya.

Berdasarkan data-data ini, maka Sumbar harus merancang promosi wisata komprehensif. Daerah-daerah yang selama ini aman dari gempa, harus dibuatkan pula wisata unggulan.

Sumbar tidak perlu 100 persen meniru Bali dengan wisata pantainya, tapi bisa pula membuat trade mark tersendiri. Kalangan yang bisa dilirik oleh orang Minang yang 100 persen beragama Islam ini, memang dari kalangan Islam sendiri.

Rancanglah wisata yang cocok dengan syariah Islam, sehingga turis merasakan ketentraman. Tentu tempat ibadah dengan kebersihan yang maksimal harus dipersiapkan.

Dengan demikian, status daerah bencana yang disandang Sumbar, menjadi peluang untuk dijual. Tentu Sumbar membutuhkan kajian matang, untuk memulai dengan promosi yang lebih gencar ke negara Timur Tengah dan negara Eropa yang banyak umat Muslimnya.
Share :

Saat ini 0 komentar :