Rekonstruksi dan Revitalisasi Jalur Rempah, Buat Indonesia Jadi Tuan di Negeri Sendiri

Wednesday 15 September 2021 : 23:44
Baca Lainnya

(foto: Pantai Padang.(kemdikbud.go.id)




Hendri Nova

Wartawan Kabar62.com

"Bagaimana kabar kebun gambirnya Buya di kampung."

Ihsan langsung tanpa basa-basi dengan pertanyaan pembuka, sambil duduk di dekat Buya Asrul yang ia salami setelah selesai doa Shalat Maghrib. Kebiasaan jamaah Mushalla Miftahul Jannah Belimbing Padang memang begitu.

Setelah Maghrib sebagian mereka ada yang tidak pulang, mereka memilih menunggu  Shalat Isya sambil itikaf. Untuk mengisi waktu, ada yang baca Alquran, shalat sunnah, ada juga yang ngobrol ringan seperti yang dilakukan Ihsan.

"Kebun gambirnya sudah hampir punah," jawab Buya Asrul.

"Lho kenapa Buya?" kata Ihsan.

"Harga gambir anjlok. Biaya produksi jauh lebih mahal dari harga jual. Akibatnya kebun gambir dibiarkan saja, menjadi semak belukar dan ada yang akhirnya mati," terang Buya.

"Duh kasihan sekali Buya petani gambirnya. Terus sekarang apa rencana Buya sebagai tumbuhan pengganti?" buru Ihsan.

"Lagi saya pikirkan. Ada keinginan untuk menanam sawit saja, karena pohonnya tidak terlalu rewel dan lagi harga sawit sepertinya cerah di masa datang," ungkap Buya.

Obrolan terus mengalir terkait harga minyak goreng sawit yang sedang meroket saat ini, lanjut ke konversi sawit jadi bio etanol, dan masih banyak lagi.

Lain lagi ceritanya dengan Sawir yang membiarkan buah pinangnya yang sudah masak berserakan di bawah pohonnya. Jika keadaannya seperti itu, bisa ditebak harga pinang sedang murah-murahnya.

"Anjlok lagi harga pinangnya Pak," tanya Gindo.

"Iya Gin, makanya saya malas ngumpulinnya. Biar sajalah seperti ini. Diolahpun hanya dapat balik modal, jadi mending cari kesibukan lain," tuturnya,

Tentu tak hanya Sawir yang mengalami masalah ini sendiri. Petani yang memiliki kebun pinang lainnya, juga berlaku sama. Buah pinang mereka biarkan berserakan tak jauh dari batangnya.

"Kalau diolah dan ditumpuk di gudang, tetap hanya akan menguras biaya perawatan. Jadi baiknya dibawa tenang dulu," jawabnya.

Tentu masih banyak lagi petani yang dirugikan karena turunnya harga pinang. Mereka begitu sangat tergantung pada pembeli dari negara India, Pakistan, dan Banglades. Jika ketiga negara ini tidak meminta, maka alamat gelapnya harga jual pinang.

Petani yang punya pohon pinang, akan membiarkan pinangnya tak terurus. Buahnya dibiarkan berserakan tanpa harga. Kadang dibiarkan tumbuh, meski kadang disingkirkan saja menjadi gulma.

Fakta Jalur Rempah

Dikutip dari jalurrempah.kemdikbud.go.id, tercatat dalam Suma Oriental, catatan milik petualang legendaris asal Portugis, Tome Pires. Ia menyebut Nusantara sebagai Kepulauan Rempah karena di tanah ini tumbuh banyak jenis rempah yang pada masanya begitu dicari dan lebih berharga daripada emas.

Hal ini sejurus dengan bangsa-bangsa dunia yang telah mengetahui Nusantara sebagai sumber komoditas rempah. Dari situ, bangsa Austronesia yang merupakan bagian peradaban bangsa Nusantara, menjadi semakin dikenal bangsa-bangsa besar lainnya. 

Pencarian bangsa asing terhadap rempah-rempah ini juga membuat banyak kepulauan di Nusantara pada akhirnya membentuk kota dagang. Terutama di daerah penghasil rempah, kota-kota strategis yang dilalui banyak pelaut lintas bangsa, hingga bagian pesisir yang menjadi tempat bersandarnya kapal.

Dampak dari era pelayaran ini pun turut memberi pengaruh di pantai barat Sumatera. Hal ini terjadi karena bagi masyarakat sekitar, rempah telah menjadi satu simbol penting bagi kehidupan mereka, dari mulai komoditas perdagangan, cita rasa, hingga falsafah hidup mereka. 

Sebagai efek dari perdagangan internasional yang tidak terelakkan, hubungan antarbangsa pun menjadi niscaya. Rempah-rempah dari Sumatera pun menjadi daya tarik karena tidak bisa ditemukan di tempat lain. Jenis rempah tersebut adalah gambir (Uncaria), gaharu, dan kayu manis yang merupakan komoditas penting dan ditemukan di kawasan Minangkabau, yang meliputi Sumatera Barat, Bengkulu, dan separuh daratan Riau. 

Dalam webinar bertajuk Minangkabau dan Peradaban Austronesia di Jalur Rempah Dunia, Ary Prihardhyanto Keim, seorang peneliti di LIPI menjelaskan bahwa rempah gambir menjadi produk Sumatera pertama yang diekspor. “Yang tercatat ekspor pertama kali justru dari Sumatera lewat gambir. Gambir ini termasuk ekspor pertama Indonesia dan luar. Bahkan, sampai sekarang India masih mengimpor gambir,” ujarnya.

Dengan eksotisme rempah gambir inilah beberapa titik di Sumatera Barat menjadi tempat singgah banyak bangsa untuk melakukan transaksi rempah-rempah. Beberapa titik perdagangan yang terkenal di pesisir barat Sumatera adalah Pelabuhan Tiku dan Teluk Bayur. 

Untuk Pelabuhan Teluk Bayur, Gusti Adnan dalam makalah Lanskap Budaya Maritim Sumatera menulis, pasca kedatangan Belanda, menjadi titik berpindahnya perdagangan dari pesisir timur menuju pesisir barat, pernah menjadi pintu gerbang utama antarpulau yang menjadi arus keluar masuk barang ekspor-impor dari dan ke Sumatera Barat.

Pelabuhan Teluk Bayur merupakan salah satu pelabuhan kebanggaan Kota Padang yang sangat bersejarah. Pelabuhan yang sebelumnya bernama Emmahaven ini dibangun pemerintah kolonial Belanda antara 1888 sampai 1893. Pelabuhan ini juga pernah dikenal sebagai lima pelabuhan terbesar di Indonesia hingga tahun 1945.

Selain pelabuhan yang menjadi titik perdagangan, titik lain yang di Sumatera Barat yang juga penting adalah kawasan Kota Tua Padang. Pada masanya, tempat ini merupakan kegiatan perdagangan antarnegara, terutama di sekitar akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Selain tempat ini, ada pula Pelabuhan Muaro yang masih berada di kawasan Kota Tua yang diketahui sebagai salah satu daerah tersibuk dan diyakini sebagai titik awal berkembangnya Kota Padang. Sejumlah bangunan peninggalan Belanda pun masih bisa ditemui di tempat ini, yakni di sepanjang Jl. Muaro, Pasa Gadang, Pasar Mudik, hingga daerah Pondok.

Selain bangunan dan arsitektur yang menjadi bukti peninggalan nyata bangsa asing, Jalur Rempah juga memiliki warisan bernilai berupa keragaman budaya dan munculnya masyarakat multietnik. Di kawasan Kota Tua Padang, nuansa peninggalan dari era keemasan perdagangan Nusantara juga dapat ditemui di tempat ini.

Kawasan Kota Tua Padang bahkan bisa disebut sebagai etalase yang menunjukkan keragaman budaya masyarakat Padang. Hal ini karena di tempat ini hidup masyarakat dari beragam etnik. Mulai dari India, Tionghoa, Melayu, Nias, Jawa, hingga Minangkabau, hidup rukun bergandengan dengan adat istiadat dan tradisinya masing-masing.

Di antaranya, masyarakat keturunan India yang berdiam di daerah Kampung Keling yang tiap tahunnya rutin mengadakan Serak Gulo, khusus untuk memberi penghormatan pada tokoh-tokoh muslim India berjasa besar. Selain itu, ada pula kawasan Pondok yang didominasi oleh etnik Tionghoa yang juga kerap menggelar tradisi menjelang perayaan hari besar, seperti Imlek atau Cap Go Meh. 

Selain beberapa fakta di atas, hal lain yang tak bisa dilewatkan adalah kekhasan masakan Padang yang amat sangat kaya akan rempah. Dari mulai rendang, sate Padang, nasi kapau, itiak lado mudo, hingga teh talua. Hal ini pun menjadi bukti nyata bahwa rempah tidak hanya menyorot romantisisme masa lalu, melainkan juga membentuk apa yang terjadi hari ini. 

Melalui seporsi masakan padang yang kaya rempah, terdapat banyak sejarah yang melingkupi, tentang dari mana rempah itu berasal, keterkaitan antara satu budaya dengan budaya lain, hingga pelbagai hal dari masa lampau yang memungkinkan masakan tersebut dapat tercipta dan hadir dalam seporsi makanan yang siap disantap.

Kosmopolitan yang terjadi di Padang juga tak lepas dari peran Jalur Rempah yang menjadikannya sebagai salah satu simpul. Dalam artikel bertajuk Jalur Rempah: Memuliakan Masa Lalu untuk Kesejahteraan Masa Depan, Ananto K. Seta menulis, “Memori Jalur Rempah diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan kebanggaan kolektif akan jati diri bangsa, sekaligus memperkuat kembali rajutan kebhinekaan Indonesia melalui interaksi budaya antardaerah yang telah dibangun sejak ribuan tahun lalu. Waktu telah membuktikan bahwa perjumpaan orang-orang di pelabuhan, misalnya, menjadi kesempatan bagi pertukaran informasi, pengetahuan, tradisi, dan seni… Kita saksikan pada saat ini, bagaimana masyarakat pada titik-titik Jalur Rempah, seperti Aceh, Kepulauan Riau, Medan, Jakarta, Semarang, dan beberapa kota lainnya terlihat menjadi begitu kosmopolitan.” 

Pada hari ini, kita dapat melihatnya lewat Pelabuhan Bayur, Kota Tua Padang, Perkebunan Rempah Gambir, kuliner khas Kota Padang yang kaya akan rempah, hingga beberapa landmark Sumatera Barat sendiri, seperti Jam Gadang di Bukittinggi yang merupakan pemberian Ratu Belanda, Masjid Jamik Taluak yang menggabungkan berbagai arsitektur berbagai bangsa, hingga Istana Pagaruyung yang menjadi simbol kekayaan orang-orang Minangkabau, yang pada masa lampau merupakan bagian dari kerajaan maritim di Nusantara, Sriwijaya.

Hal ini tentunya menjadi satu upaya kebanggan kolektif kita sebagai bangsa Indonesia yang plural, yang tumbuh dan besar bersama warisan berbagai budaya dan segala jenis etnik manusia yang menghidupinya pada hari ini. Sebuah alasan mengapa pengarang tersohor Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, memberi julukan Anak Semua Bangsa kepada tanah ini.

Rekonstruksi dan Revitalisasi Jalur Rempah

Berdasarkan fakta tingginya ketergantungan petani rempah Sumbar pada ekspor ke negara lain, dan mereka akan merugi jika harga rendah. Maka sudah saatnya dilakukan rekonstruksi dan revitalisasi jalur rempah, agar anak bangsa tidak hanya sebagai pengekspor bahan mentah.

Masa' dari zaman kolonial sampai zaman modern sekarang, tidak juga ada perubahan terkait perlakuan rempah-rempah khas Sumbar ini. Apa tidak terpikir untuk mengolahnya menjadi bahan setengah jadi ataupun barang jadi, setelah itu baru di ekspor ke negara tujuan.

Jika ini dilakukan, tentu harganya akan lebih mahal, sehingga petani menjadi lebih sejahtera. Seharusnya, sebagai pemain tunggal dalam rempah-rempah dengan sedikit saingan, harusnya petani Sumbar memiliki daya tawar yang lebih baik.

Sayangnya sampai sekarang tidak juga terlihat kemajuan. Bahkan pengolahan gambirpun masih dengan tradisional, sehingga tidak efektif dan efisien jika dikaitkan dengan waktu pengolahan yang lebih rumit.

Maka dari itu, campur tangan pemerintah sangat dibutuhkan, sehingga daerah penghasil rempah-rempah bisa memiliki pabrik pengolahan rempah. Jika ini terwujud, tentu petani akan lebih semangat lagi menjalankan pekerjaannya, dan tidak ada lagi kata mubazir, jika harga sedang anjlok di luar negeri. Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri, dalam hal pengolahan rempah-rempah menjadi barang setenggah jadi maupun yang sudah siap pakai. (*)

Share :

Saat ini 0 komentar :