Fadli Zon : Agenda Tidak Masuk Akal Evaluasi Kembali

Friday 27 December 2019 : 18:19
Baca Lainnya
Kabar62.com - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, menyarankan Pemerintah untuk merasionalisasi ulang agenda-agenda pembangunan di 2010. Hal tersebut ia tuangkan dalam twit-nya di media sosial Twitter.

"Menghadapi gelombang resesi global, mau tidak mau Pemerintah harus merasionalisasi ulang agenda-agenda pembangunan tahun depan. Agenda-agenda tidak masuk akal yg cenderung membebani APBN atau merugikan keuangan BUMN sebaiknya dievaluasi kembali," katanya Jumat (27/12/2019).

Ia mengatakan, kemampuan Pemerintah dalam menstimulus pembangunan terus-menerus menurun.

"Tekanan utang terhadap APBN bisa dilihat dari terus turunnya proporsi belanja modal Pemerintah yg terjadi sejak 2016 lalu. Pada 2018, proporsi belanja modal masih berada di angka 14,02 persen. Namun tahun ini angkanya turun tinggal 11,59 persen saja. Penurunan ini menunjukkan kemampuan Pemerintah dalam menstimulus pembangunan terus-menerus menurun," ujarnya.

Ia membandingkan utang Indonesia di bawah Presiden SBY dengan utang Pemerintah saat ini.

"Kalau kita lihat data, per 30 Nopember 2019, jumlah utang Pemerintah mencapai Rp4.814 triliun. Jika dibandingkan  posisi utang pada akhir 2014, dalam lima tahun terakhir utang kita bertambah sebanyak Rp2.205 triliun."

"Sbg catatan, selama 10 tahun berkuasa, pemerintahan Presiden
@SBYudhoyono hanya menambah utang Rp1.399 triliun, yang terbagi menjadi utang periode pertama (2004-2009) sebesar Rp291 triliun, dan utang periode kedua (2009-2014) sebesar Rp1.108 triliun."

"Dan meskipun jumlah utangnya meningkat, namun pemerintahan Presiden SBY berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari semula 56,5 persen (2004) menjadi tinggal 24,7 persen (2014)," tuturnya.

Ia pun mengingatkan rasio utang terhadap PDB yang terus meningkat, sehingga sudah berada di angka 30,03 persen.

"Rasio utang terhadap PDB juga terus meningkat. Lima tahun lalu posisinya masih 24,74 persen. Kini, posisinya sudah berada di angka 30,03 persen," ungkapnya.

Menurutnya, utang bisa dianggap baik jika digunakan untuk menstimulus kegiatan perekonomian. Namun jika utang dilakukan untuk membayar utang, maka itu jelas merusak neraca anggaran. Itu sebabnya Pemerintah harus segera memperbaiki tata kelola utang.

"Tahun lalu, porsi pembayaran bunga utang ada di angka 16,41 persen. Tahun ini, angkanya meningkat menjadi 16,88 persen. Peningkatan porsi pembayaran bunga utang ini telah membuat ruang gerak Pemerintah kian terbatas."

"Padahal, saat ini pembayaran bunga utang telah memberikan tekanan yang besar bagi APBN kita. Porsinya juga terus-menerus meningkat," katanya.

Katanya lagi, utang Pemerintah akan terus membengkak, jika tak bisa merasionalisasi agenda prioritas pembangunan.

"Jika Pemerintah tak bisa merasionalkan agenda prioritas pembangunan, risikonya adalah jumlah utang kita akan terus membengkak. Sebagai gambaran, saat ini defisit anggaran terhadap PDB sudah mencapai 2,3 persen, padahal target defisit APBN 2019 hanya 1,84 persen terhadap PDB," tuturnya.

Keadaan ini menurutnya akan berdampak pada menurunnya kemampuan Pemerintah dalam menstimulus perekonomian.

"Hal ini tentu akan berdampak pada pelebaran defisit dan menurunnya kemampuan Pemerintah dalam menstimulus perekonomian.
Pemerintah harus menyadari kemampuan keuangan mereka sebenarnya terbatas. Apalagi, realisasi penerimaan pajak terus mengalami penurunan," tuturnya.

Menurutnya, tak semestinya kepentingan jangka pendek, yaitu memperbaiki daya beli untuk menghidupkan efek pengganda, diabaikan demi kepentingan jangka panjang berupa pembangunan infrastruktur fisik.

"Dari pengelolaan Dana Desa kita melihat potret nyata kegagalan Pemerintah dalam menentukan prioritas pembangunan. Sebagaimana sudah sering sy sampaikan, ini semua terjadi krn seluruh sumber daya, termasuk Dana Desa, dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, bukan membangun sektor produksi yg berhubungan langsung dgn daya beli masyarakat," ungkapnya.

Fadli juga menyorot penurunan tingkat kesejahteraan di desa, dengan penurunan upah buruh.

"Penurunan tingkat kesejahteraan di desa juga bisa dilihat dari penurunan tingkat upah buruh. Pada September 2019, tingkat upah buruh petani riil adlh sebesar Rp38.278 per hari. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan angka pada 2013 lalu, yg mencapai Rp39.618 per hari. Ini tentu saja ironis. Sesudah enam tahun, tingkat upah buruh di perdesaan justru mengalami penurunan," ucapnya lagi.

Lebih lanjut ia menyayangkan penurunan jumlah penduduk miskin yang hanya 2,7 persen saja.

"Sebelum ada Dana Desa, Pemerintah mampu menurunkan jumlah penduduk miskin di perdesaan rata-rata sebesar 3,1 persen per tahun. Namun, sesudah ada Dana Desa, penurunan jumlah penduduk miskin di perdesaan dlm empat tahun terakhir ternyata hanya sebesar 2,7 persen saja per tahun." katanya.

"Saya tak terkejut, misalnya, mendapati kenyataan perguliran Dana Desa dalam empat tahun terakhir ternyata tdk berimbas banyak terhadap pengurangan angka kemiskinan dan ketimpangan di perdesaan," tambahnya.

Menurutnya, Pemerintah seharusnya waspada. Target-target pembangunan yang tak masuk akal sebaiknya disesuaikan kembali, dengan situasi ekonomi dan kemampuan keuangan Pemerintah. Sebab, tanpa target dan orientasi yg jelas, kegiatan pembangunan hanya akan menguapkan anggaran belaka, tapi tak akan memberikan efek pengganda yg berarti.

Menurutnya, investor masih mengalirkan duitnya ke Indonesia karena tingkat bunga masih lebih tinggi jika dibanding negara-negara lain. Namun, derasnya arus modal yang distimulasi selisih suku bunga lebar ini bisa kapan saja berhenti, yang membuat ekonomi Indonesia jadi rentan. Krisis bisa datang tiba-tiba.

"Meski demikian, gelombang resesi memang seolah belum terasa. Hal ini terjadi salah satunya karena saat ini kita masih menikmati “stabilitas semu” nilai tukar Rupiah. Sy sebut sbg stabilitas semu, krn stabilitas Rupiah yg terjadi saat ini sebenarnya bertumpu pada derasnya “hot money”, atau aliran dana-dana jangka pendek, bukan oleh kuatnya fundamental ekonomi," ungkapnya.

Fadli juga mengungkapkan pertumbuhan ekonomi negara berkembang, yang menurut IMF, tahun ini akan terpangkas ke angka 3,9 persen, sesudah bisa tumbuh 4,5 persen pada 2018 silam.

"Membaca proyeksi tsb, tentunya sulit menyangkal bahwa resesi ekonomi global tengah menghadang di depan mata. Dan gelombang resesi tersebut pasti akan berimbas pada perekonomian Indonesia," katanya.

"Kita tahu, karena hanya ditopang oleh konsumsi, dalam lima tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terus mengalami stagnansi di kisaran 5 persen," tambahnya.

Perlambatan juga terjadi di bidang investasi. Tahun ini investasi di negeri kita mengalami perlambatan signifikan. Di kuartal ketiga 2019, investasi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,21 persen, padahal pada kuartal sebelumnya masih tumbuh 5,01 persen.

Di tengah turunnya harga komoditas, ekspor masih belum menolong banyak. Apalagi di tengah situasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina.

"Hal ini terjadi krn lesunya pertumbuhan ekonomi negara-negara maju, yg diproyeksikan hanya akan tumbuh sekira 1,7 persen saja tahun ini dan tahun depan. Di sisi lain, kondisi untuk negara-negara berkembang juga tak jauh berbeda," tuturnya.

Setelah tahun lalu bisa tumbuh 3,6 persen, pertumbuhan ekonomi global tahun ini diperkirakan hanya akan menyentuh angka 3,0 persen saja. (*)

Share :